Hoaks Memicu Depresi pada Anak dan Remaja

Hoaks Memicu Depresi pada Anak dan Remaja

Saat ini, kabar bohong atau hoaks dengan cepat tersebar di website internet, software pesan, dan media sosial. Tak melulu orang dewasa, anak dan remaja juga turut menjadi korban hoaks. Berseliwerannya hoaks ini paling perlu diwaspadai. Hal tersebut karena menurut keterangan dari penelitian, hoaks bisa memengaruhi kesehatan mental sampai-sampai rentan menyebabkan depresi.

Hoaks dapat sebabkan depresi

Banyaknya informasi yang diterima tanpa disaring terlebih dahulu dapat mengakibatkan stres serta depresi pada anak dan remaja. Misalnya, desakan dari media sosial mengenai penampilan diri (seperti format tubuh dan pakaian yang dikenakan) dapat mengganti pandangan semua remaja dan menjadi standar nilai sosial di kalangannya.

Hal tersebut menciptakan remaja tertekan sebab harus memperlihatkan diri mereka cocok dengan standar yang dibuat di media sosial. Mereka pun bakal minder bilamana tidak dapat menjangkau standar tersebut. Minder yang berkelanjutan akan menciptakan mereka stres dan depresi.

Tidak melulu itu, hujatan kebencian dan hoaks yang ramai beredar menciptakan anak dan remaja yang membacanya bisa menjadi depresi. Hal ini terjadi sebab seakan-akan mereka mesti memilih mereka terdapat di pihak yang mana. Padahal, mereka belum sepenuhnya tahu mana yang baik dan benar sebab terlalu tidak sedikit berita hoaks yang tersebar.

Di beda sisi, bilamana berada di pihak yang bertolak belakang dengan temannya, anak dan remaja bisa dikucilkan dan kehilangan teman-temannya. Hoaks ini tidak jarang kali dominan  langsung pada kehidupan nyata. Misalnya, terjadi kekerasan baik individu maupun kelompok, jatuhnya reputasi dan nama baik seseorang atau perusahaan sebab hoaks.

Cemas dan depresi pada anak dan remaja juga dirangsang karena tidak dibatasinya mereka dalam bermedia sosial. Tak jarang, anak dan remaja menguras sebagian besar waktunya melulu untuk berselancar di media sosial. Bahkan,waktu istirahat mereka menjadi tidak cukup dan tidak nafsu makan. Hal ini semakin merangsang mereka menjadi depresi.

Dalam studi di Universitas di Pensilvania, 143 remaja dianalisis bersangkutan pemakaian media sosial. Hasilnya, mereka yang jarang memakai media sosial mempunyai kesehatan mental yang lebih baik daripada yang sering memakai media sosial. Mereka yang sering memakai media sosial pun menunjukkan fenomena takut kehilangan, kesepian, cemas, depresi, tidak cukup konsentrasi, kurang keyakinan diri, dan hendak dihargai lebih.

Anak-anak dan remaja Anda mesti diajarkan bagaimana menanggapi hoaks dengan baik. Yaitu, dengan menyimak sebuah informasi terlebih dahulu dengan seksama tanpa langsung menyebarkannya. Perhatikan pun situs yang menyebarkan berita tersebut, apakah tepercaya atau tidak.

Pikirkan pun apakah berita itu berguna untuk masyarakat atau tidak, atau melulu mengujarkan kebencian antar-kelompok atau menciptakan minder orang lain. Anak dan remaja pun harus diajarkan memilah berita yang positif dan negatif.

Di samping itu, anak-anak Anda pun harus diberi batas dalam memakai media sosial, dan lebih tidak sedikit aktif di dunia nyata. Itu sebab manfaat yang bakal diperoleh lumayan banyak. Misalnya, anak bisa bersosialisasi dan berinteraksi dengan baik bareng teman sebaya, saudara, pun dengan kita sebagai orang tua. Di samping itu, memberi batas anak dan remaja bermedia sosial pun mencegah supaya hoaks tidak dominan  negatif pada kehidupan mereka.

Oleh sebab itu, tidak jarang kali awasi dan simaklah informasi apa yang dibaca dan diterima oleh anak-anak Anda. Di samping itu, batasi pula pemakaian media sosial mereka dalam satu hari. Jangan hingga anak dan remaja merasakan depresi dan stres sebab kebiasaan menyimak hoaks.